Senin, 25 Maret 2013

Ibu, kau benar-benar luar biasa.

Orang tua kandungku tinggal ibuku seorang. Ayah kandungku meninggal saat aku lulus SMA. Sejak itu ibu berusaha keras menjadi dua orang sekaligus untuk aku dan kakakku. Ia tahu aku belum bisa hidup mandiri sedangkan kakak-kakaku sudah mempunyai keluarga masing-masing. Ia melakoni banyak pekerjaan untuk membuat keadaan kami tidak jauh berbeda dari sebelum kami kehilangan ayah.

Ini terjadi di hari pertamaku bekerja. Awalnya aku masih berpikir bahwa bekerja adalah tahapan hidup yang harus dilalui, sesederhana itu. Aku akan bekerja, mendapatkan gaji dan memberikan sebagian gajiku untuk orang tua yang selama ini membiayaiku.

Ternyata aku hanya menggunakan otak dan sibuk dengan kecemasan akan hari pertamaku sendiri. Aku ingat suatu saat aku dan sahabatku ngobrol.

"Gimana reaksi ibumu setelah tau kamu kerja?", tanyanya.

"Hmm, biasa aja sih. Cuma kasih selamat.", jawabku.

"Oh itu sih sebenernya di balik pintu ibumu terharu.", sahutnya.

"Hahaha.. iya mungkin. Tapi ibuku nggak pernah yang heboh-heboh gitu kok.", balasku.

Ternyata bekerja itu bukan hanya sebuah tahapan hidup di mana kita hanya melakukan sesuatu kemudian mendapatkan uang. Setengah hariku hampir habis di kantor untuk mempelajari ini dan itu. Dalam setengah hari itu pun aku berubah menjadi sosok yang lain dari kemarin.

Aku melepas segenap zona nyamanku, berusaha beradaptasi dengan lingkungan baru, mengerjakan ini dan itu. Gila, aku capek sekali. Kemarin aku masih bisa tidur siang dan nonton TV. Masih bisa menghabiskan waktu untuk bermain-main.

Aku pun teringat ibuku yang sudah tua. Ini baru sehari dan aku sudah merasakan sebegitu luar biasanya bekerja. Sedangkan ibu? Ia sudah menempuh puluhan tahun untuk bekerja. Ia menghadapi semua untuk menghidupi kami semua. Saat melakukan sholat Ashar, aku hampir menitikkan air mata memikirkan ini. Apa saja yang sudah kulakukan untuk ibuku? Apa saja yang sudah ibuku lakukan ketika aku dengan malasnya enak-enakan tidur siang dan nongkrong membuang banyak uang?

Aku pulang malam hari itu. Sahabatku mengantarkanku pulang. Di tengah perjalanan kami kembali bercakap-cakap.

"Gimana hari pertama?"
"Hahahaha... Babak belur aku dihajar tugas dan waktu."

"Oh nggak apa-apa, nanti juga kamu terbiasa. Ibumu pasti terharu waktu kamu ngasih gaji pertama."

Sejenak aku setuju akan pemikirannya. Namun tak lama kemudian aku membatin, "Nggak. Gaji pertamaku nggak ada apa-apanya kok. Itu nggak akan cukup membayar apa yang sudah dilakukan ibuku. Bahkan, aku bekerja ini masih satu per sejuta langkah hidup ibuku.".

Ibuku, walaupun mungkin ia tidak terharu di balik pintu, namun di balik matanya sudah menggerombol keharuan yang nyaris tak terbendung. Walaupun aku sudah besar, ia akan tetap khawatir ketika putrinya akan berangkat kerja di hari pertama. Walaupun aku akan menyodorkan gaji pertamaku, itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia berikan, bahkan aku masih diberi kesempatan Tuhan untuk menerima lebih banyak lagi.

Ibu, aku baru benar-benar menyadari bahwa kau benar-benar luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar